Teror Bahasa Eufemisme
Sewaktu mendapat pelajaran bahasa Indonesia di SMP/SMA dulu, kita pernah mendengar istilah majas hiperbola, metafora, dan eufemisme, serta majas-majas lainnya. Hiperbola berarti mendramatisir suatu keadaan, seperti pada kalimat: “banjir darah” dan “mandi keringat”. Bentuk metafora bisa dikatakan sebagai perumpamaan-perumpamaan yang seringkali ditemukan pada ulasan-ulasan karya sastra. Adapun majas eufemisme berarti bahasa penghalus yang lazim kita temui pada percakapan sehari-hari, seperti kalimat: “Pak, saya izin ke belakang.”.
Karakter orang Indonesia yang ramah sangat mendukung penggunaan ragam bahasa eufemisme dalam berbagai situasi kehidupan. Penyebutan “wanita tuna susila (WTS)” ketimbang “perek” atau “lonte” dalam media cetak/tv adalah salah satu contoh dari bahasa eufemisme. Nilai rasa bentuk “WTS” tentu dirasa lebih halus daripada bentuk “perek” dan “lonte”. Contoh lainnya, bisa kita lihat pada kalimat, “Polisi berhasil mengamankan tersangka sehari setelah terjadinya insiden.”.
Celakanya, penggunaan bahasa eufemisme ini seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Kita bisa lihat pada bentuk-bentuk kalimat berikut.
- Rupiah melemah 200 point terhadap dollar US.
- Pemerintah menyesuaikan harga BBM
- RAPBN dikoreksi dengan asumsi dollar di keseimbangan harga 11.000 rupiah
Bentuk-bentuk di atas adalah salah satu penggunaan bahasa eufemisme dengan menyimpan konteks-konteks tertentu. Bagaimana jika dua kalimat di atas kita ganti jadi:
- Rupiah anjlok 200 point terhadap dollar us
- Pemerintah menaikkan harga BBM
- RAPBN membengkak dengan asumsi dollar di keseimbangan harga 11.000 rupiah
Maksud celakanya, bahasa eufemisme justru digunakan untuk menutupi kenyataan tertentu bagi masyarakat publik. Selain menutupi kenyataan, bahasa eufemisme digunakan untuk memberikan citra positif. Namun yang lebih parah, bahasa eufemisme justru membuat tumpul daya kritis otak masyarakat publik. Membuat sebuah situasi seolah-olah keadaan aman terkendali. Kenyataan yg ditutupi membuat kita tidak berpikir panjang dan menganalisa secara mendalam.
Contoh konkret yang saya rasa cukup picik, ketika harga BBM turun, justru digunakan kalimat-kalimat polos (harfiah) dan digembor-gemborkan ke masyarakat, seperti pada kalimat “Pemerintahan si-Anu telah berhasil menurunkan harga BBM hingga tiga kali.”. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, harga minyak dunia memang anjlok luar biasa. Di sini kita bisa melihat sesuatu yang tidak adil. Ketika harga BBM naik, digunakan bentuk eufemisme (disesuaikan). Namun ketika harga turun, digunakan kata harfiah “turun” (tetap turun, malah ada penambahan embel-embel “berhasil”).
Karakteristik bahasa eufemisme biasanya digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Karenanya, tidak heran siapapun yg jadi penguasa, bahasa eufemisme ini pasti lazim digunakan. Dalam orde baru zaman Pak Harto, maraknya kasus orang hilang yang menimbulkan gonjang-ganjing di masyarakat diredam dengan menggunakan istilah “diamankan” ketimbang “ditangkap” atau “dipenjara”, pelaku yang menangkap tadi tadi justru dikatakan sebagai “yang berwenang” atau “mengamankan”. Di era reformasi zaman Megawati, istilah “privatisasi aset negara” sering digunakan ketimbang “menjual aset negara”.
Bahasa eufemisme yang semula “mulia” (bahasa halus yg digunakan untuk tidak menyinggung perasaan) menjadi teror bagi masyarakat, dan menjadi alat hegemoni penguasa untuk tetap berada di puncak. Ketika Anda merasa sedang tidak diteror, bisa dikatakan bahwa Anda sedang dihegemoni (dikuasai tanpa merasa sedang dikuasai). Tulisan ini hasil sintesa saya setelah menonton acara dialog di TVRI dengan topik yang sama. Mudah-mudahan bisa jadi semacam counter-hegemoni atas pemahaman realita bahasa di lapangan.
Jahanam yg copy gak bilang-bilang tulisan ini. Gw sumpahin mandul tujuh turunan. Lumayan capek nulis pake gaya serius. 😡
Comments
Post a Comment