Blogging, The Power of

Cuma Blog!

“Alah itu kan cuma blog, mana ilmiahnya???”

Seringkali kalimat di atas diucapkan oleh orang. Kita (dalam hal ini sebagai blogger) yang mendengarkan cenderung meng-amin-i dan melanjutkan kembali pekerjaan seolah tidak terjadi apa-apa. Dampaknya, aktvitas blogging tereduksi ke wilayah pop saja, seperti music n film review, gosip artist, art, entertainmet, dan pop influence yang berujung pada narsisme :D.

Karena aktivitas nge-blog dianggap tidak ilmiah, para pelakunya (blogger) cenderung mengkhususkan dirinya pada bidang yang tidak membutuhkan kealamiahan. Akibatnya, banyak blogger yang lari ke sektor hiburan, curhat, dan mengungkapkan hal2 keseharian yang remeh-temeh. Jutaan halaman pelarian tersebut membentuk suatu jaringan maya raksasa dan membangun environtment sendiri. Para blogger pemula tentu saja akan latah dan ikut-ikutan berlaku seperti itu lantaran konstruksi sosial blogging yang terbentuk adalah yang seperti itu.

Dikotomi Blog dan Media Mainstream
Mengapa blog dipandang tidak ilmiah? Tentu saja ini terjadi karena adanya anggapan perbedaan kelas dalam media penyampai informasi. Adapun kelas yang bertentangan mengacu pada dua posisi; BLog dan Media Mainstream berupa cetak, radio, tv (jurnalisme tradisional). Jurnalisme tradisional yang telah lebih dahulu lahir telah membangun hegemoni dalam menyosialisasikan informasi. Hal ini menyebabkan timbulnya anggapan umum bahwa keotentikan dan idealisme jurnalistik hanya menjadi milik media mainstream saja.

Padahal, sekarang justru perlu dipertanyakan keotentikkan dari media mainstream tersebut. Apakah media mainstream masih mampu untuk tetap independen dan fight for freedom of rights? Apakah kita tidak merasa sedang disodori oleh berbagai layer informasi yang cuma dibentuk oleh media mainstream? Sebagai contoh, kini banyak media mainstream yang berafiliasi dengan produsen sehingga independensi ekspos atas konsumen diragukan. Sebagai contoh, kita dapat melihat media harian SINDO, RCTI, Global, dan TPI (bernaung dalam MNC) berafiliasi dengan layanan seluler FREN dan TV kabel INDOVISION. Jangan heran jika Anda sering melihat iklan produk FREN dan INDOVISION di media-media tersebut.

Media Mainstream: Masihkah Independen?
Mari melihat lebih jauh lagi. Ternyata diketahui bahwa para aktivis jurnalistik (wartawan) media mainstream hidup dalam taraf yang memprihatinkan. Walau tidak semua, hal tersebut dapat anda lihat dari kutipan link berikut.

  • Baru pada awal bulan lalu aku menemukan jawabnya. Dari perbincangan dengan beberapa orang teman Trans TV, aku menemukan sesuatu yang sangat menarik. Sekaligus mengherankan. Ternyata di antara Stasiun TV swasta nasional lain di Indonesia, Trans TV adalah stasiun TV yang menawarkan penghasilan PALING RENDAH. Bahkan, standar gaji Trans TV setara dengan standar gaji stasiun TV lokal seperti Banten-TV atau JTV..!! (Baca lebih lanjut)
  • Kami dijanjikan akan diberikan gaji satu juta plus uang lelah bekerja sebutanya tunjangan prestasi. “kalau rajin akan ditambah lima ratus ribu,” itu keterangan dari Sururi saat itu. Jadi total gaji yang akan dibawa pulan adalah Rp. 1,5 juta. Saya sempat kecewa juga saat itu karena penghasilan sebesar itu sudah saya peroleh saat bekerja di Mara. Tapi karena sudah komitmen dan mencoba untuk loyal, saya akhirnya terus (Baca lebih lanjut)

Seharusnya pekerja jurnalistik disokong oleh perusahaan agar tetap menjaga prinsip-prinsip jurnalistik. TRANS dan SINDO adalah harian besar yang logikanya tidak akan kesulitan memberikan taraf hidup yang layak bagi para wartawannya (perlukah dicarikan berita mengenai saham MNC -sindo- naik or TRANS sebagai stasiun TV terbaik saat ini?).

Dari kasus di atas, terlihat bahwa jurnalisme media mainstream telah bergeser menjadi produsen. Jika dulu wartawan miskin karena idealisme-nya (tidak ada yang menyokong karena banyak musuh, namun menjadi pahlawan bagi semua orang), sekarang wartawan miskin karena dieksploitasi oleh media mainstram yang telah berubah perilaku menjadi produsen. Benar-benar lingkaran setan yang mengerikan.

Independensi jurnalistik dari media mainstream juga sekarang semakin meragukan, mengingat izin untuk membuat media mainstream sendiri dikeluarkan oleh pemerintah. Tentunya ada titipan-titipan dari penguasa (dalam era reformasi sekalipun) kepada media mainstream untuk mendukung berlangsungnya proses pemerintahan (baca -penguasaan).

Ayo Ngeblog!
Dulu kendala membangun media jurnalistik adalah dibutuhkannya biaya operasional yang besar (biaya cetak, biaya siaran, dan biaya lain-lain). Akibatnya, media terpaksa mencari topik2 populer dan menghindari ekspos yang remeh-temeh tadi demi memperoleh pemasukan iklan dari pihak produsen. Iklim liberalisme yang marak berkembang belakangan ini makin memperparah keadaan dan membuatnya semakin kelihatan kejam.

Link informasi mengenai wartawan media mainstream yang hidup dalam taraf memprihatinkan tersebut saya peroleh dari internet (forum dan blog informasi independen). Tidak butuh biaya mahal untuk menjadi jurnalis, denger temen curhat mengenai “ini-itu”, atau bahkan pengalaman pribadi Anda, bisa langsung Anda ekspos dan paparkan kepada khalayak. Cukup dengan ngeblog, dan biaya sewa internet selama 1 jam, Anda bisa menjadi seorang jurnalis yang benar-benar independen dan menjadi pahlawan bagi semua orang.

Tidak ada media mainstream yang berani mengupas bahwa agen mereka berada dalam opresi media mereka sendiri (iya lha, justru menjatuhkan kredibilitas mereka sendiri). Tidak ada redaktur yang menyuruh Anda mencari berita pesanan. Tidak ada eksploitasi yang mengalienasi Anda atas hidup Anda (kehilangan waktu dan tempat karena tuntutan perusahaan).

Siapkan diri Anda pada era the people power, seiring turunnya harga bandwith!!

Tunggu apalagi Ayo ngeblog!!

Comments

Popular posts from this blog

2021 Lalu Saya Covid

Logitech G300S Saya Rusak (1)