Fitrahnya

Fitrahnya

(1) Tiba-tiba kesenyapan menyelimuti, merayapi tubuhku pelan-pelan. Aku ingin bicara, tapi tak ada wacana yang mengalir. Aku merasa menangis, tapi tak ada air mata yang teruntai. Aku mencari suaramu, hanya ada bening keheningan. Saat ku kembali tersadar bahwa aku hanyalah sebuah pohon.

(2) Matahari yang terbenam, ketika kumenatapmu, kau adalah seekor burung mungil yang tak puas dengan dunia yang kecil ini, sayap yang kau miliki masih ingin mengepak menyelami birunya telaga langit, seperti ketika aku memilih menjadi pohon karena kutahu ia menghujam ke dalam.

(3) Seekor burung yang murni biasa melintas, setelah bertahun-tahun sepi, ketika kau sapa dahanku, suaramu taburkan rangkaian pola warna, menghiasi daunku. Tak terdefinisi (mungkin), berona abstrak. Benar-benar biasa!, tak ada yang “begitu indah” tapi keabstrakan itu terpancar sendiri, mungkin kau juga tidak sadar.

(4) Angin menerpaku karena ia memang menerpa, siapapun bukan hanya wujudku. Batu di kakiku membisu karena memang ia tak ingin membicarakan segala sesuatunya kepada alam yang senantiasa terpekur pada kodratnya masing-masing. Begitupun kau yang mengepak pergi dari dahanku karena sudah fitrahnya juga. Masih banyak langit yang ingin kau telusuri, masih banyak bentangan lembayung yang harus kau pahami, masih banyak jejeran awan yang perlu kau resapi maknanya.

(5) Bagaimana caranya meresapi seekor burung yang sementara mata dan pikirannya selalu menatap kenangan-kenangan akan langit dan senantiasa terjaga akan suara-suara dari langit dan selalu merindukan suasana-suasana langit?

(6) Melihat hujan yang ada kali ini adalah menyerap dimensi kesunyian yang tergulir di depan mata, berguguran dedaunku, kering meranggas, menguning. Menyambut hujan kali ini adalah memaksa untuk menghirup udara sepi, dan menghembuskannya kembali dalam aliran sunyi bersama sapaan angin.

Jakarta, 5 Nov 2003

 

Sepi-sepi

(1) Lantai tempat ku bersila adalah saksi bisu ketika mataku menari pada tubuh-tubuh telanjang dengan topeng-topeng yang dikenakannya.

(2) Menatap hari ini adalah menghadapi kenyataan bahwa kau harus menghilang tiba-tiba, sepertinya ketika itu aku baru saja tahu kalau warna laut itu biru.

(3) Untuk hari ini, walau sedikit terusir, pekatnya sepi itu telah merasuk ke otak menjamah sisi waras, membangkitkan sisi gelap, membuat bodoh

Jakarta, 6 Nov 2003

 

Sesuatu yang tertunda

(1) Tetes air mata ini yang tak sempat tertuang, tercipta sesaat atas nama cinta.
Cinta yang sederhana seperti rasa manis pada kopi yang pahit. Bertolak belakang, seperti bermusuhan namun sesungguhnya saling melengkapi dan saling memberi makna satu sama lain.

(2) Meski dipaksa berlalu menjadi biru, hitam yang tercipta telah lebih dulu terpancar, terpecah karang meninggalkan noda khas aroma pesisir.

(3) Wajah yang tertunduk dipaksa terantuk oleh jejak-jejak khayal akan indahnya panorama bulan. Oleh mimpi-mimpi akan indah kehidupan di bulan.

Merak-Bakauhuni, 7 Nov 2003

 

Keapakahan itu?

(1) Dan mengapa seketika pedih seakan lirih gesekan aliran air pada bebatuan, seperti kata-kata dalam hati, tak terduga dan seketika pula tertulis pada secarik kertas?

(2) Ah mungkin kita terlalu banyak bicara?, ketika kau terperangah pada angin yang mengarak beribu-ribu awan mengarungi telaga kebiruan dan ketika aku yang membeku pada diamnya batu-batu yang meneguhkan zikir dalam dengungan khusu’nya?

(3) Akan tetapi keengganan itu, kesungkanan itu, bemain dalam wadah hasrat, telungkup dalam kungkung yang membatasi jarak pandang

(4) Karena (sekali lagi mungkin), musuh yang kita lihat adalah wajah yang setiap pagi kita tatap pada kaca yang mengenakan seribu muka?

 

Semesta Kebisuan

(1) Kian hari semakin jelas, benda yang kulihat sebagai titik, adalah sebuah garis vertikal bagimu.

(2) Perlahan, sepi-sepi itu menguap dalam semesta kebisuan, mengarak akal sehat kelubang, menyeret semakin dalam

(3) Semakin hari pertanyaan itu juga semakin besar, terus berkecamuk dalam hati, “sebenarnya ada apa di balik garis yang kau lihat?”

(4) Mungkin ini adalah sebuah tanya (pula), ditengah-tengah rahasia abadi keheningan itu

Lampung, 9 Nov 2003

 

Pulang

(1) Kita berbicara kelu pada celah-celah dinding berdebu, sementara beduk telah mengalun bertalu-talu, memanggil malu-malu.

(2) Membercaki sisi pena yang telah berbusa-busa memuntahkan kata-kata, duh, kiranya gundah ini tak terhapus air wudhu!

(3) Kutundukkan kepalaku membatu, terbenam dalam alunan sujud, membeku, sementara rona fajar merasuki pelan-pelan.

Jakarta, 10 Nov 2003

Comments

Popular posts from this blog

2021 Lalu Saya Covid

Logitech G300S Saya Rusak (1)